Jumat, 27 Maret 2009

Kehadiran Parpol vs kesejahteraan dan keadilan

Sistem ke tatanegaraan kita mengalami perubahan yang luar biasa, belum tahu perubahan ini apakah ke arah yang lebih baik atau malah sebaiknya. Rejim orde baru selama 32 tahun benar-benar manjadi musuh warga masyarakat terutama kaum terpinggir, tapi tidak bagi kaum kelompok yang dekat dengan kekuasaan karena waktu itulah mereka benar-benar merasakan indahnya dan nikmatnya berada didalam negara Republik Indonesia ini. Salah satu perubahan politik yang saat ini dirasakan warga masyarakat adalah perubahan sistem Pemilu, di era orde baru hanya 3 parpol yang menjadi konstestan pemilu selama 7 kali, namun sakarang di Indonesia parpol pemndirian parpol tumbuh seperti jamur di musim hujan, pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik, tahun 2004 ada 24 parpol dan pada tahun 2009 ada 38 parpol ditambah 6 parpol lokal di NAD. Apabila kita telusuri lebih jauh adakah korelasinya antara banyak partai dengan sedikit partai terutama bagaimana upaya penanganan isu-isu kerakyatan dan kesejahteraan, mungkin juga perlu kita ketahui bagaimana sistem atau cara pendirian sebuah parpol, benarkah syarat-syarat adminstratif telah dibuat dengan baik dan benar oleh parpol, karena apabila kita sandingkan dengan isu yang akhir ini mengemuka temuan PDIP dan Patriot di Jawa Timur tentang DPT yang di manipulasi maka dapat dikatakan bahwa pendiran sebuah partai politik mungkin saja banyak data yang manipulatif terutama dalam keanggotaan awal parpol tersebut karena banyaknya partai dan terbatasnya waktu yang tersedia bagi KPUD untuk memverifikasi administrasi parpol tersebut. Oleh sebab itu sikap eoporia politik saat ini tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan dan keadilan di Negara ini, karena parpol tidak pernah melakukan pendidikan dan kesadaran politik pada konstituenya. target parpol terkungkung pada pencapaian kekuasaan dan setelah berkuasa membangun kroni agar kekuasaan dapat dipertahankan. Disisi lain bahwa sistem Pemilu saat ini justru dapat memicu sikap primodialisme karena baik pemain politik maupun warga semakin terpancing untuk mengerucutkan sikap atau pilihan politiknya pada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu saja. Sikap dan pilihan politik tersebut apabila sudah terjebak didalam konteks etnis, agama, suku dan ras maka terdapat kemungkinan bahwa sikap politik akan menjurus pada sikap primodialisme. Kasus di Pilkada-pilkada akhir-kahir ini terjadi , masing-masing kelompok berupaya sekuat tenaga mengkonsolidasikan kelompoknya agar dapat menjadi pemenang atau berkuasa. Isu SARA sebanarnya hanya dibungkus rapi dalam bingkai visi-misi dan program yang ditawarkan, namun dalam kenyataannya bahwa isu yang real dilapangan adalah bagaimana kelompok dapat menjadi pemenang dan berkuasa. Dalam konteks ini bagaimana kita memahami sikap "negarawan" atau pemimpin yang kerkualitas dalam membangun peradaban Bangsa dan Negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar